DANAU KACO KAKI GUNUNG KERINCI
Tidak jauh dari kaki Gunung Kerinci di Jambi, terdapat danau sebening kaca. Penduduk setempat memanggilnya Danau Kaco, alias danau kaca. Perjalanan menuju danau ini tidak mudah, namun sesuai dengan keindahannya.
Danau Kaco terletak di Kabupaten Kerinci, tepatnya di Desa Lempur, Kecamatan Gunung Raya. Sekitar dua jam dari Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Bagi para pendaki yang menuju Gunung Kerinci, Danau Kaco dapat dijadikan alternatif tujuan melepas lelah, setelah mendaki atau pun dijadikan pemanasan sebelum mendaki Gunung Kerinci.
Berawal dari pendakian ke Gunung Kerinci, saya beserta kedua teman yang baru bertemu, yaitu Mahardika dan Ade Isni, merencanakan untuk mengunjungi Danau Kaco yang sebelumnya pernah diceritakan oleh Bang Levi dan Murdam selama di Basecamp Jejak Kerinci, Kersik Tuo.
Setelah turun dari Gunung Kerinci, esok harinya sekitar pukul 08.00 WIB kami berangkat menuju Kota Sungai Penuh terlebih dahulu untuk memesan tiket pulang ke Kota Jambi. Kami bertiga diantar oleh Bang Levi, Murdam, dan Joni dengan mobil dari basecamp.
Selama perjalanan menuju Desa Lempur, sepanjang jalan kami disuguhkan hamparan kebun teh yang sangat luas, yang konon merupakan kebun teh terluas di dunia. Terkenal dengan teh kualitas terbaik, sehingga diekspor ke berbagai negara. Selain itu, Danau Kerinci juga terlihat dari jalan yang kami lalui menuju Desa Lempur.
Pukul 11.00 WIB waktu setempat, akhirnya kami pun sampai di Desa Lempur. Kurang lebih 4 jam, waktu yang kami tempuh dari basecamp di Kersik Tuo. Kemudian kami ditemani oleh Bang Ari yang merupakan warga Desa Lempur.
Mobil hanya bisa mengantarkan kami sampai perkebunan warga dekat bendungan air. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan dengan jalan kaki, dan petualangan pun dimulai!
Pertama kali yang saya lihat sebelum masuk hutan adalah perkebunan milik warga, didominasi oleh tanaman cabe, pohon kayu manis, dan bambu. Setelah berjalan 15 menit dari bendungan air tadi, kami menjumpai bangunan seperti tugu yang kurang terawat. Tugu Bambu, mungkin itu namanya, karena tugu tersebut dibangun ada bentuk bambunya.
Jalan yang kami lalui menuju Danau Kaco ini sangat becek dan berlumpur, mengingat hutan yang kami masuki ini merupakan hutan hujan tropis yang sangat lembab dan merupakan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Setelah 1 jam kami jalan kaki, akhirnya kami tiba di Shelter 1, ditandai dengan adanya papan yang terbuat dari seng yang dipasang pada pohon besar di dekat jalur.
Kami pun istirahat sejenak, minum dan makan makanan ringan yang kami bawa. Ketika istirahat, kaki saya merasa perih, dan ternyata pacet sedang menggigit tepat di punggung kaki kanan saya waktu itu. Beruntung, seketika pacet tersebut langsung saya lepaskan. Sekitar 10 menit beristirahat, kami melanjutkan kembali perjalanan.
Jalur yang kami lalui setelah Shelter 1 ini lumayan melelahkan, hampir 80% berlumpur dan menyulitkan kami. Beberapa kali saya hampir terpeleset karena licinnya jalur yang kami lalui. Bahkan sendal yang dipakai Ade Isni pun putus karena masuk lumpur. Disarankan memakai sendal gunung atau sepatu untuk kenyamanan selama perjalanan.
Di atas lumpur yang kami lalui terlihat lintah, sedangkan di dedaunan pinggir jalur ada pacet, setelah terkena gigitannya saya menjadi hati-hati dalam melangkah. Jangan sampai kedua kalinya kena gigitan pacet, tentunya sangat menggelikan bagi saya.
Selang satu jam perjalanan, kami sampai di Shelter 2. Bang Ari dan Joni sampai duluan, mereka berdua jalannya cepat sekali. Mungkin sudah terbiasa dengan tempat ini. Setelah istirahat sebentar, kami melanjutkan kembali perjalanan kami menuju Danau Kaco.
Jalur setelah Shelter 2 ini sangat bervariasi, tetapi jalur becek dan berlumpur masih mendominasi. Beberapa sungai kecil kami lewati dan satu sungai yang cukup besar dengan arus air yang cukup deras pun sukses kami lewati.
Andaikan saja hujan deras sebelumnya, mungkin sungai besar itu pun arusnya menjadi sangat deras. Beruntung saya mengambil tongkat yang tergeletak di hutan untuk dijadikan penopang badan saya selama melewati sungai-sungai tersebut.
Kurang lebih satu setengah jam kami berjalan kaki. Dengan nafas yang terengah-engah, akhirnya sampai juga di Danau Kaco. Saya langsung teriak dan memandang sekitar danau yang memuaskan rasa penasaran saya akan danau ini.
Terpukau, itu adalah kata yang tepat dan yang saya rasakan ketika kedua mata saya pertama kali melihat kecantikan dan keindahan danau ini. Air yang jernih seperti kaca, mungkin itulah kenapa danau ini disebut Danau Kaco oleh warga setempat.
Dasar dari danau ini pun terlihat dengan jelas, walaupun kedalamannya saya kurang tahu. Tetapi yang saya perkirakan itu, mungkin bisa mencapai 10 meter.
Entah kenapa warna air danaunya kebiru-biruan, tapi menurut cerita Bang Levi, itu karena pengaruh dari dasar danaunya karena adanya ratu intan di dalamnya. Benar atau tidak, mungkin itu hanyalah cerita warga setempat dan telah menjadi ciri khas dari Danau Kaco.
Beberapa kali saya ambil gambar dan video danau ini, kemudian duduk istirahat di tepian danau sambil menikmati nasi bungkus yang kami bekal dari Desa Lempur. Makan nasi bungkus dengan lauk dendeng batokok menjadi menu kami waktu itu, sangat nikmat sekali apalagi sambil melihat ikan-ikan yang terlihat dengan jelas dari tepian Danau Kaco ini.
Rasanya seperti memiliki akuarium raksasa, bisa melihat ikan-ikan dengan airnya yang sangat jernih dan terlihat secara jelas. Namun ini merupakan akuarium alam yang disuguhkan oleh Sang Maha Kuasa.
Menurut Bang Murdam dan Ari, ikan-ikan tersebut boleh dipancing dan dimakan di sekitar danau, tapi tidak boleh dibawa pulang. Mungkin itulah kearifan lokal warga sekitar untuk menjaga kelestarian alamnya.
Menurut mereka berdua, Danau Kaco tidak sengaja ditemukan oleh para pemburu burung pada tahun 2000, dan mulai terekspos pada tahun 2011-2012. Akses transportasi dan akses jalan menuju Danau Kaco sendiri menurut saya agak sulit, apabila menggunakan transportasi umum.
Karena sepanjang jalan yang kami lewati, angkutan umum dari Kota Sungai Penuh menuju Desa Lumpur hanya terlihat satu angkot. Wajar saja Bang Levi menawarkan mobil yang ada di basecamp untuk mengantarkan kami bertiga menuju Danau Kaco ini.
Kami hanya menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk menikmati keindahan surga tersembunyi di tanah kerinci ini. Ingin rasanya mendirikan tenda dan bermalam di tepian Danau Kaco. Andai saja kami masih punya waktu lebih, mungkin keinginan itu bisa terealisasi. Namun apa daya, esok hari kami bertiga harus kembali lagi ke Kota Jambi untuk pulang ke kota kami masing-masing.
Mahardika pulang ke Palembang, sedangkan saya dan Ade Isni ke Jakarta. Sekitar pukul 15.30 WIB kami memutuskan untuk turun kembali ke bendungan air, tempat Bang Levi memarkirkan mobil yang akan mengantarkan kami kembali ke kota Sungai Penuh. Sebelumnya kami ambil beberapa foto lagi sebagai kenang-kenangan dari surga tersembunyi di tanah Kerinci, Danau Kaco.
Dua setengah jam kami jalan kaki, turun menuju bendungan air dekat perkebunan warga. Memang lebih cepat, karena jalan kami pun dipercepat, walau saya harus telanjang kaki dari Shelter 1 karena sandal gunung yang saya pakai sangat licin kemasukan lumpur.
Setibanya di bendungan air, kami langsung berangkat ke Kota Sungai Penuh untuk mengejar waktu, sampai agen travel yang akan mengantarkan kami menuju kota Jambi.
Selama perjalanan saya hanya bisa melihat-lihat keindahan Danau Kaco dari foto-foto dan video dari kamera saja. Satu minggu rasanya tidak cukup untuk menjelajahi tanah Kerinci. Mungkin suatu saat nanti saya akan kembali lagi untuk menikmati keindahan dari tanah kerinci ini.
Mendapatkan yang indah itu memang tidak mudah. Jalanan becek, lumpur, pacet, sampai lintah ditemui di sini. Tiga setengah jam untuk sampai tempat ini dan dua setengah jam untuk turun dari tempat ini, tapi selamanya saya akan mengingat tempat indah ini.
Kami bertiga pun terlelap dalam mobil travel menuju kota Jambi. Semoga saja semua ini bukan mimpi.